Project Management

Harmonisasi Balanced Scorecard Dan Six Sigma

Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC, COBIT 2019.

MILLENNIA-SOLUSI.ID— Terdapat banyak kerangka kerja (framework) yang dapat digunakan untuk keperluan Sistem Manajemen Kinerja (SMK), masing-masing dengan pendekatan yang juga beragam (lihat di sini). Beragamnya framework tersebut seringkali membuat kebingungan tersendiri.

Dalam pengamatan saya, respon terhadap keragaman framework itu ternyata juga beragam. Sebagian perusahaan meresponnya dengan memilih salah satu framework, sebagian lagi memiliih mengimplementasikan beberapa framework sekaligus, dan sebagian lagi memilih untuk tidak memilih/menerapkan SMK.

Diantara pertimbangan yang sering dijumpai dalam pemilihan tersebut cukup beragam, seperti misalnya karena popularitas framework dengan asumsi bahwa semakin baik sebuah framework maka ia akan semakin banyak digunakan alias populer. Atau karena pengetahuan tentang sebuah framework tertentu, misalnya karena baru selesai mengikuti training tentang sebuah framework. Atau karena kompleksitas implementasinya, misalnya ditinjau dari besarnya effort yang dibutuhkan untuk mengimplementasikannya (waktu, biaya, perubahan organisasi, ketersediaan SDM, dll). Atau jika kita sedang tidak terlalu beruntung maka kita akan mendapatkan jawaban yang cukup simple seperti “Ahh..ini sudah merupakan instruksi dari atas”.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas terkadang berujung pada keputusan untuk memilih salah satu framework, atau tak jarang juga berujung kepada pengadopsian beberapa framework sekaligus dengan tanpa/minimum memikirkan keterpaduannya. Sehingga akhirnya menyebabkan keseluruhan framework menjadi tidak dapat memberikan manfaat seperti yang diharapkan. Layaknya sebuah tim penuh bintang tanpa manager yang baik, atau lebih buruk lagi jika misalnya mayoritasnya diisi oleh pemain penyerang, tanpa ada yang berposisi sebagai pemain tengah atau bertahan.

Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi banyaknya framework SMK yang bagus-bagus tersebut? seperti yang saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, bahwa kata kuncinya adalah harmonisasi. Pada tulisan ini saya akan berikan sebuah contoh bagaimana 2 (dua) kerangka kerja yang sama-sama sangat populer dan dengan pendekatan yang cukup berbeda dapat diharmonisasikan, yaitu kerangka kerja Balanced Scorecard yang berorientasi strategic alignment, dengan kerangka kerja Six-Sigma yang dominan berorientasi pada process-exellence.

Saya akan melakukan harmonisasi kedua framework tersebut dengan cara melakukan analisis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing framework, untuk kemudian mendesain bagaimana framework hasil harmonisasinya.

OK, kita mulai dengan menganalisis kekuatan dari masing-masing kerangka kerja…

Pada dasarnya tujuan utama dari penggunaan Balanced Scorecard ini adalah untuk membentuk organisasi yang berfokus pada strategi (strategy focused organisation). Jika disarikan lebih lanjut, maka berikut ini adalah kekuatan utama dari Balanced Scorecard dalam konteks harmonisasi ini adalah:

Metode dalam penyelarasan strategi dengan aksi yang dilaksanakan (melalui teknik strategy map)
Kelengkapan perspektif yang digunakan
Kemudahan pengendalian kinerja keseluruhan perencanaan (melalui media Scorecard)
Jika Balanced Scorecard memiliki fokus pada bagaimana membentuk organisasi yang berfokus pada strategi, maka metodologi Six Sigma menetapkan fokus untuk memperbaiki kualitas proses dengan cara selalu berusaha menekan adanya variasi proses sekaligus mengurangi frekuensi cacat (defect) yang dihasilkan oleh setiap proses-proses yang dilakukan. Six-Sigma memfokuskan perbaikan proses dan pengurangan cacat tersebut terutama pada area-area yang berpengaruh penting bagi pelanggannya. Aspek proses yang penting bagi pelanggan tersebut inilah yang disebut dengan Critical To Quality (CTQ).

Sehingga kekuatan utama dari kerangka kerja Six-Sigma pada dasarnya adalah:

Fokus pada apa yang penting bagi pelanggan (internal dan eksternal)
Memperhatikan peluang terjadinya variasi dari setiap proses
Memperhatikan ukuran utama dari sebuah kinerja (CTQ)
Kemudian kalau kita sudah mengetahui kekuatan utama dari masing-masing framework tersebut, maka sekarang kita lakukan identifikasi kelemahan dari setiap kerangka kerja tersebut dalam konteks harmonisasi ini. Sebenarnya pada beberapa bagian istilah jebakan (pitfall) lebih tepat digunakan dibandingkan kelemahan.

Jebakan (pitfall) yang sering dijumpai dan perlu diperhatikan dari framework Six-Sigma utamanya adalah:

Six-Sigma tidak melihat dari perspektif yang cukup komprehensif, karena fokusnya pada perspektif proses dan juga pelanggan
Six-Sigma banyak melibatkan secara intensif analisis data, prosedur statistik, validasi kelengkapan data, dan sebagainya yang berisiko dapat mengalihkan perhatian dari tujuan dan kehilangan fokus pada objektif yang ingin dicapai
Six-Sigma memberikan kepada orang yang dalam posisi sebagai ”Green Belt” atau ”Black Belt” dan memberikan mereka status khusus dalam organisasi, padahal keahlian utama mereka adalah metode analisis dan bukan pemahaman mendalam terhadap proses yang mereka coba perbaiki
Sedangkan framework Balanced Scorecard yang saat ini masih bertengger sebagai framework paling populer dalam dunia SMK juga tak luput dari titik lemah atau jebakan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Bahkan pencetusnya sendiri yang menyampaikannya bahwa jebakan pada Balanced Scorecard itu dapat dikelompokkan dalam 2 kategori, sbb:

1. Kesalahan dalam perancangan (design failure)

Kurangnya pemahaman terhadap strategi bisnis atau dalam hal ini PSTI dapat menyebabkan kegagalan dalam implementasinya.
Pendefinisian ukuran kinerja yang tidak tepat. Kesalahan yang sering terjadi adalah tidak seimbangnya antara ukuran yang merupakan hasil (outcome/lagging measure) yang diharapkan dengan ukuran yang merupakan faktor penyebabnya (performance driver/leading measure).
Kesulitan dalam mendefinisikan hubungan antara obyektif strategis dan ukuran, terutama antara perspektif finansial dengan non-finansial

2. Kesalahan dalam proses (process failure)

Kurangnya komitmen dari manajemen senior
Terlalu sedikitnya personil yang dilibatkan
Scorecard hanya diketahui oleh manajemen senior
Proses penyusunan Scorecard yang terlalu lama
Menggunakan Balanced Scorecard hanya untuk tujuan kompensasi/insentif dengan kurang memperhatikan pencapaian strateginya.
Sebagaimana tujuan dari harmonisasi ini untuk mengoptimalkan manfaat melalui pengkombinasian kerangka kerja maka desain harmonisasi ini perlu untuk mengekspos kekuatan dari setiap kerangka kerja dan berusaha menutup kelemahan/jebakan yang ada pada masing-masing kerangka kerja.

Oleh karena itu, harmonisasi yang dilakukan ini perlu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Kerangka kerja baru yang dihasilkan harus mengekspose kekuatan strategic alignment serta kontrol terhadapnya dari Balanced Scorecard

2. Kerangka kerja baru yang dihasilkan harus mengekspose kekuatan kelengkapan perspektif dari Balanced Scorecard

3. Kerangka kerja baru yang dihasilkan harus mengekspose kekuatan Six-Sigma dalam metode pendefinisian ukuran, pengukuran kinerja dan analisis untuk peningkatan kinerjanya.

4. Menggunakan prinsip ”Fokus pada pelanggan” dari Six-Sigma

5. Pengendalian manajemen kinerja menggunakan keunggulan Balanced Scorecard dalam kemudahan pemonitorannya.

Dengan berdasarkan prinsip-prinsip desain tersebut di atas, maka kemudian baru dapat didesain model harmonisasi kerangka kerja yang berbasis utama kepada Balanced Scorecard yang kemudian diperkuat oleh Six-Sigma terutama pada perspektif “Pelanggan” dan “Proses Internal”.

Sehingga dengan menurunkan model diatas lebih detail, maka akan terciptalah sebuah framework “baru” yang sejatinya merupakan hasil harmonisasi dari framework populer yang sudah ada. Sehingga dengan demikian penggunaan keduanya sekaligus menjadi komplementer dan dapat meningkatkan value dari keduanya. Sehingga diharapkan kombinasinya dapat menciptakan the dream team, alih-alih sekedar kumpulan pemain bintang. Semoga bermanfaat. [msi/wakool.id]

Open chat
Hello
Can we help you?