Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC, COBIT 2019.
MILLENNIA-SOLUSI.ID— Bisnis zaman ini dan masa depan bertumpu pada tiga faktor utama: kecepatan dan kelincahan, inovasi, serta pengalaman pelanggan (customer experiences) yang prima. Segala sesuatu dapat berubah laju yang sangat cepat. Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0) sudah membuat perubahan yang berjalan sangat cepat dan radikal.
Banyak pihak terkesima dengan tumbuhnya binis-bisnis baru berbasis teknologi yang merusak tatanan industri yang telah berpuluh tahun dibangun dengan darah, keringat dan milyaran dolar. Mereka kaget dengan munculnya bisnis seperti “Go-Jek” yang hampir tak punya aset tapi bisa punya nilai perusahaan melampaui “Garuda Indonesia” atau “Blue Bird” yang punya aset jutaan atau milyaran dolar. Sebelumnya kita melihat misalnya perusahaan plat merah seperti PT Pos yang dibuat termehek-mehek akibat teknologi yang memunculkan pesaing-pesaing dengan skala perusahaan jauh lebih kecil tapi bisa punya layanan yang lebih maknyus pada pelanggan-pelanggan tradisionalnya. Lalu mereka juga banyak yang heran dengan suramnya bisnis travel agent tradisional karena dilindas oleh perusahaan kemarin sore yang tiba-tiba meraksasa dengan senjata teknologi dan layanan yang prima. Dan masih banyak lagi fenomena bisnis yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Arus transformasi digital memang sudah bergerak sangat cepat sejak beberapa tahun terakhir ini. Namun COVID-19 yang diakui secara resmi kehadirannya di 2 Maret 2020 ini menuntut perubahan yang tidak hanya harus cepat, tapi harus sekarang. Pandemi ini memaksa perubahan perilaku orang secara drastis dan serentak. Beberapa produk dan layanan yang sebenarnya bukan barang baru tiba-tiba mengalami ledakan pengguna. Banyak bisnis yang tiba-tiba meroket, seperti kita lihat fenomena Zoom, online marketplace serta penyedia layanan Internet dan cloud. Sementara tak sedikit juga bisnis limbung dan sempoyongan. Seperti mal-mal dan tempat hiburan yang kehilangan pengunjungnya. Penyedia jasa transportasi yang jadi berdarah-darah karena biaya terus membengkak sementara pendapatan dari penumpang anjlok sangat drastis. Ada sekolah dan lembaga pendidikan yang tutup karena minim pendaftar. Ada yang kemudian bangkit lagi karena cepat beradaptasi. Sebagian lagi harus berujung pada kematian. Sehingga badai pandemi ini telah menjadi ancaman eksistensial bagi banyak usaha di seluruh dunia.
Eksploitasi Dan Eksplorasi
Transformasi ini sudah banyak dan akan lebih banyak lagi mendisrupsi kemapanan bisnis di berbagai sektor. Tuntutan transformasi digital menjadi sebuah keharusan. Transformasi ini menuntut setiap perusahaan untuk melakukan eksploitasi maupun eksplorasi bisnisnya dengan memanfaatkan teknologi digital.
Eksploitasi artinya adalah mencari cara bagaimana supaya bisnis yang sudah dijalankan saat ini bisa dimaksimalkan dengan digitalisasi. Pada eksploitasi ini akan dilakukana analisis terhadap proses bisnis eksisting. Bagian-bagian proses yang tidak efisien akan dibuang atau digantikan dengan proses digital yang lebih baik, akurat, dan produktif. Misalnya bagaimana caranya jika sebelumnya sebuah layanan itu membutuhkan waktu 2 minggu, bisa diubah menjadi 2 hari atau 2 jam saja.
Sedangkan Eksplorasi adalah menemukan hal-hal baru, menciptakan inovasi-inovasi bisnis baru dengan memanfaatkan digitalisasi. Proses ini diharapkan akan menghasilkan produk-produk baru atau bisa juga produk lama dengan model bisnis yang baru dengan inovasi digital. Bisa jadi caranya adalah dengan melakukan perpaduan dengan produk-produk yang sudah ada sebelumnya, kolaborasi dengan ekosistem lain di luar perusahaan, dan sebagainya.
Transformasi Dalam Cara Mengelola
Tuntutan kuat bagi bisnis untuk melakukan transformasi digital, juga menuntut transformasi pada bagaimana cara perusahaan mengelola TI. Dulu bagian TI di perusahaan itu seperti tukang kayu yang akan membuatkan meja dan kursi ketika ada order. Para programmer atau administrator sistem akan melakukan pembuatan program atau layanan lainnya ketika diminta oleh bagian lainnya di perusahaan. Ia seperti terisolasi dari bisnis.
Kemudian peran bagian TI ini berubah seiring dengan industrialisasi TI, dimana bermunculan perusahaan-perusahaan penyedia TI di pasaran. Sehingga bagian TI perusahaan akan fokus pada tata kelola dan manajemen layanan TI. Mereka mulai berinteraksi dengan user bisnisnya sebagai pelanggannya, Tapi tidak berhubungan dengan para pelanggan perusahaan. Mereka akan melakukan eksploitasi terhadap proses bisnis eksisting dengan teknologi digital dengan obyektif untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas.
Dan terakhir peran bagian TI ini bertransformasi lagi pada era digitalisasi saat ini. Fokus mereka merambah ke eksplorasi model bisnis dan menciptakan inovasi-inovasi bisnis digital yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Hasil dari organisasi TI model ini adalah inovasi bisnis digital dan penciptaan nilai-nilai baru bagi perusahaan.
Dilema
Tuntutan transformasi digital dan cara pengelolaan TI tersebut menimbulkan dilema baru. Karena di satu sisi Teknologi Informasi dituntut bisa stabil dalam memberikan layanan, sementara di sisi lain juga dituntut untuk lincah mengikuti dinamika perubahan dan inovasi bisnis yang begitu cepat.
Sehingga kemudian tercipta pendekatan baru yang diistilahkan dengan Bimodal IT. Yaitu praktik-praktik yang dilakukan untuk mengelola dua mode yang berbeda dalam pengelolaan TI tersebut. Satu fokus pada stabilitas, sementara yang lain fokus pada kelincahan (agility). Mode 1 menggunakan pendekatan tradisional dan sekuensial, menekankan pada keamanan dan akurasi. Sementara mode 2 bersifat eksploratif dan tidak linier, menekankan pada kelincahan dan kecepatan. Padahal setiap perubahan akan berisiko mengancam stabilitas.
Apa boleh buat, zaman memang menuntut perubahan tersebut. Apakah kita siap atau tidak? Yaa…Harus siap!! [msi/wakool.id]